Dalam paparannya, Takaliuang banyak membeber persoalan lingkungan yang ada di Sulut seperti Tambang Mas Sangihe, reklamasi Boulevard 2 Manado, serta persoalan yang terjadi di Minahasa Utara. Termasuk juga persoalan yang terjadi 2 dekade silam di Ratatotok, Minahasa Tenggara.
“Kondisi lingkungan kita saat ini sangat memprihatinkan. Banyak teori dan kebijakan pemerintah, namun dalam implementasi selalu bertentangan,” papar Takaliuang.
Dia mengatakan, dalam teori semua bagus, dan ideal. Namun yang terjadi adalah banyak memberikan peluang penindasan rakyat.
“Di depan Manado ada reklamasi. Padahal ada banyak lahan kosong di darat, tapi kenapa mereklamasi,” ujarnya.
Menurutnya, saat ini aktivis lingkungan dan warga tentah berhadapan dengan tembok tirani yang besar. Analisa mengenai dampak lingkungan (Amdal) dilakukan atau dibuat dengan tidak melibatkan masyarakat.
“Tiba-tiba tahu ada pembangunan tambang di wilayahnya, hal ini tentu merugikan,” papar dia.
Terkait kondisi lingkungan yang seperti itu, dia mengajak kalangan jurnalis serta pencinta alam agar bisa terus mengkritisi para pemangku kebijakan. Sehingga nantinya berbagai kebijakan yang ada tidak merugikan masyarakat.
“Saya mengajak pada kalangan muda ini, untuk bisa meneruskan perjuangan menjaga lingkungan kita. Karena kalau bukan kita, siapa lagi yang akan berjuang,” ujarnya.
Jambore Jurnalistik Lingkungan yang digelar SIEJ ini berlangsung selama 3 hari diikuti kalangan jurnalis, aktivis pencinta lingkungan, serta pers mahasiswa. (*)