Benny Rhamdani |
Menurut pria yang akrap disapa BRANI ini, retetan peristiwa memanfaatkan politik suku, agama, ras dan atar golongan (SARA) di Tanah Air tidak bisa dibiarkan dan harus dilawan.
Uraian peristiwa besar seperti yang terjadi di DKI Jakarta, merurutnya merupakan tamparan keras bagi kebebasan demokrasi. Bukan hanya itu, peristiwa seperti ini bahkan merusak tatanan kehidupan, toleransi yang sudah terbina di Tanah Air dan hal ini merongrong Pancasila.
Mundur kebelakang sejarah Indonesia, Ia tak segan menyebut satu persatu kesalahan di massa lalu. Ia menyebut 4 musuh utama Berikade 98, sudah ditetapkan bersama.
"Pertama Cendana, yang hingga hari ini setelah kekuatan orde baru kita tumbangkan, kekuatan Cendana masih hidup dan berupaya untuk bangkit dan kembali ke panggung kekuasaan. Mereka juga dalam Pilpres 98 yang memplopori bahkan memodali kerusuhan-kerusuhan atas nama penolakan hasil demokrasi Pemilihan Presiden Pemilu 2019. Yang kedua Oligarki Orde Baru. Sebuah kekuatan yang hingga hari ini juga tidak mengenal kata mati dan berupaya untuk terus bangkit kembali. Yang ketiga Pengusaha Hitam. Kekuatan kartel ekonomi yang sejak Jokowi berkuasa dan memimpin negara ini, mereka tidak memiliki kesempatan untuk menjara, merampok semua sumber daya alam yang seharusnya dikuasai oleh rakyat, yang selama 32 tahun selama orde baru dikuasai oleh kartel ekonomi yang didukung penuh oleh kekuatan orde baru dan Cendana. Keempat adalah HTI dan jaringan," jelas mantan anggota DPD RI daerah pemilihan Sulawesi Utara (2014-2019).
Menurut BRANI, mereka adalah agen dan pion dari proksi internasionalisem, tidak lagi menjadi kekuatan dan kelompok yang melakukan perjuangan idiologi mereka secara tertutup.
“Mereka muncul ke permukaan setelah mereka dipelihara dan beranak pinang selama 10 tahun sebelum Jokowi berkuasa. Mereka berani mendeklarasikan diri sebagai kekuatan yang anti Pancasila. Mereka berani tampil untuk mengatakan bahwa Pancasila adalah thagut, Pemerintahan yang dihasilkan dari sistim demokrasi adalah thagut. Jadi Demokrasi sendiri itu sendiri adalah thagut bagi mereka," tandasnya.
BRANI dengan tegas mengatakan, ini acaman serius, sekalipun dalam jumlah mereka adalah kekuatan yang sangat kecil, tapi kesalahannya kita sebagai kekuatan mayoritas menjadi kekuatan yang permisif, yang bisa mengerutu, marah tapi cenderung tidak melakukan apapun untuk menghadapi mereka.
BRANI dengan tegas mengatakan, ini acaman serius, sekalipun dalam jumlah mereka adalah kekuatan yang sangat kecil, tapi kesalahannya kita sebagai kekuatan mayoritas menjadi kekuatan yang permisif, yang bisa mengerutu, marah tapi cenderung tidak melakukan apapun untuk menghadapi mereka.
“Saatnya narasi-narasi mereka kita lawan dengan kontra narasi, saatnya gerakan politik mereka kita lawan dengan gerakan politik kita, dan saatnya ketika mereka mengatakan revolusi, maka kontra revolusi akan kita lakukan untuk melawan mereka! Kawan-kawan ini tugas sejarah kita, Indonesia dengan multi kultur, suku agama telah bersepakat idiologi kita adalah Pancasila dan bukan atas nama agama, tapi kekuatan mereka dengan berani muncul ke permukaan, maka sesunggunya mereka telah mengibarkan bendera peperangan itu sendiri.
Karena itu, menurutnya, hal yang keliru jika yang melahirkan reformasi 98, jika yang bertanggung jawab atas sejarah perjuangan reformasi 98, demokratisasi dan cita-cita bernegara kemudian mengambil sikap diam dan tidak melalukan apa-apa.
"Kita lihat Pilkada DKI Jakarta. Berawal dari seorang tokoh dan anak bangsa yang bernama Ahok, hanya kerena dia seorang Nasrani, hanya karena dia seorang etnis Tionghoa, hanya karena dia bermata sipit, kemudian Ahok dikafirkan, yang seolah-olah tidak memiliki hak sedikitpun untuk menjadi pemimpin di DKI Jakarta dan negara ini. Kita harus berani mengatakan, Jakarta ibu kota negara perna dipimpin oleh seorang anak bangsa yang beragama Nasrani dan berasal dari Sulawesi Utara, Bapak Henk Ngantung dan disaat itu tidak ada penolakan oleh siapa pun dengan mengatasnamakan agama, artinya, kita bersedia dan menerima siapapun yang memimpin negara ini, bahkan pemimpin di daerah-daerah ini sepanjang mereka memiliki komitmen untuk menciptakan keadilan bagi siapapun. Kita tidak akan perna mempersoalkan dia beragama apa? Dia dilahirkan dimana? Dan kita tidak akan mempersoalkan dia bersuku apa? Komitmen ini yang harus kita jaga," kata BRANI.
Dia mengungkapkan kelompok-kelompok mereka semakin liar, dan gerombolan-gerombolan itu semakin nyata dan nampak ke permukaan. Dia menganalogikan mereka seperti serigala-serigala yang suatu saat akan menerkam dan membunuh kita.
Jadi menurut BRANI, merupakan suatu kebodohan jika tetap tertidur lelap, tidak melakukan apapun dan tidak mengambil sikap untuk menghadapi mereka dengan cara yang dimiliki.
"Empat musuh Berikade 98 adalah bagian dari deklarasi kita, proklamasi kita bahwa kita kekuatan mayoritas, bahwa kita kaum nasionalis tidak akan lagi untuk berdiam diri membiarkan republic ini dicabik-cabik oleh mereka yang selalu mengatasnamakan agama, yang sesunggunya itu untuk kepentingan politik," tegas pria kelahiran Bandung, 3 Maret 1968 ini.
"Saya berani mengatakan, omong kosong dengan atas nama agama yang selalu mereka teriakan di jalan-jalan. Sesunggunya dibalik itu, adalah pengambilalian kekuasaan. Mereka hanya tinggal menunggu waktu, mereka hanya tinggal melihat momen itu, kapan harus mereka lakukan," sambungnya.
Ia mengungkapkan, setelah Pilkada DKI bergerak ke Pilpres, kelompok-kelompok dan gerombolan itu semakin nyata, Politik Indonesia menjadi tidak sehat, keterbelahan electoral semakin nampak, keterbelahan antara kaum nasionalis dan kaum yang selalu mengatasnamakan agama dengan segala tipu daya mereka, dengan segala asut dan adudomba mereka, dengan semangat-semangat dan virus kebencian yang terus ditularkan mereka, dan mereka melakukan itu hingga hari ini. Dan kita tahu mereka akan melakukannya hingga cita-cita dan perjuangan politik mereka berhasil. Bayangkan jika suatu saat negara yang multicultural, negara yang heterogen ini, negara yang sejak dulu hidup berdampingan dimana umat beragama saling memberikan toleransi dan kasih sayang, negara yang bisa hidup damai dan rukun, kemudian suatu saat negara ini diambil alih dan dipimpin oleh mereka.
"Berikade 98 tidak akan pernah relah dan iklas untuk membiarkan sejengkalpun tanah republik ini jatuh pada kekuasaan politik mereka. Cukup sudah sejarah dan perjalanan orde baru 32 tahun menjadi pelajaran penting bagi kita. Bagaimana kriminalisasi atas nama agama bisa dilakukan kapanpun? dan itu bisa menggunakan militer, Bagaimana demokrasi dibunuh? Kebebasan berpendapat, kritik kepada kekuasaan dianamikan? Dan bahkan mengambil posisi untuk berdebat dengan negara dianggap dosa," kata politisi dan aktivis 98 ini.
Ia menyebut, jika hal ini ada kelompok yang mengatakan seolah-olah Presiden Jokowi adalah Presiden yang otoriter, anti kritik, Dia mewakili teman-teman aktivis 98 ingin memberikan kesaksian.
"Jika mereka yang mengatakan itu hidup di zaman orde baru, jika mereka yang melakukan kritik-kritik keras dengan cara-cara diluar adap dan bahkan etika politik, dan bahkan melanggar aturan-atuaran hukum dan demokrasi saat ini, hidup di era orde baru, maka kita yakin mereka adalah orang-orang yang tidak akan pernah hidup hingga hari ini di alam demokrasi ditengah pemerintahan Jokowi," terangnya.
Karena itu, untuk mengawal demokrasi, mengawal Jokowi, mengawal Indonesia, BRANI mengajak Berikade 98 terus bergerak dan bergandengan tangan dengan semua kelompok-kelompok nasionalisme melawan setiap musuh yang ada.
“Saatnya narasi kita lawan dengan narasi, gerakan politik kita lawan dengan gerakan politik, dan revolusi yang mereka teriakan kita lawan dengan revolusi untuk menjaga Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hidup mahasiswa, hidup mahasiswa, hidup mahasiswa, hidup rakyat, hidup rakyat, hidup rakyat! seru BRANI.
“Berikade,” serunya lagi, disambut semua “Kawal demokrasi dan jaga Indonesia!” (alfa jobel)