Kepala Balai Pelestarian Sulawesi Utara, Sri Sugiharta, menjelaskan, “Secara historis, wilayah yang sekarang disebut sebagai Sulawesi Utara merupakan bagian dari Jalur Rempah pada masa lalu. Tentu saja, alat transportasi tradisional masyarakat Sulawesi masa silam adalah perahu layar. Dengan demikian, Lomba Perahu Layar ini salah satunya dapat digunakan sebagai sarana untuk membangkitkan kesadaran sejarah masyarakat sekarang dengan kejayaan nenek moyang.”
Selain mengangkat aspek sejarah, Lomba Perahu Layar juga bertujuan mendorong nelayan untuk kembali menggunakan layar sebagai alat penggerak kapal. Adi Wicaksono, Kurator Program Muhibah Budaya Jalur Rempah 2023, menjelaskan bahwa lomba ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan tentang kehidupan bahari yang erat kaitannya dengan Jalur Rempah. Selama ini, banyak nelayan beralih ke mesin tempel dengan bahan bakar solar yang mahal dan tidak ramah lingkungan. Melalui acara ini, Adi berharap nelayan dapat kembali menggunakan layar karena lebih hemat dan ramah lingkungan, karena layar digerakkan oleh angin.
Lomba ini diikuti oleh 140 nelayan dengan 70 perahu layar dari berbagai kelompok nelayan seperti Kelompok Nelayan Malalayang, Kelompok Nelayan Bahu, Kelompok Nelayan Megamas, Kelompok Nelayan Karangria, Kelompok Nelayan Maasing, dan Kelompok Nelayan Molas. Dalam lomba ini, terdapat dua jenis perahu yang digunakan, yaitu perahu kayu dan perahu fiber/triplek.
Rute lomba dimulai dari Pantai Karangria, menuju Bunaken, dan kembali ke Pantai Karangria sebagai garis finish. Estimasi waktu lomba adalah tiga jam, dimulai pukul 09.00 WITA. Ada hadiah untuk enam peserta tercepat dari lima kategori, serta dana apresiasi dengan total Rp220.000.000.
Sri Sugiharta menyatakan harapannya,
"Walaupun komoditas utama nelayan sekarang bukan rempah-rempah, tapi dengan kegiatan lomba ini, diharapkan nelayan dapat melestarikan pengetahuan dan teknologi perahu layar tradisional ini. Salah satu caranya, dengan bersedia mewariskan pengetahuan dan teknologi perahu layar tradisional ini ke anak cucu dan generasi muda lainnya."
Lomba ini juga diharapkan menjadi momen penting untuk memperkenalkan pengetahuan dan teknologi perkapalan tradisional ke generasi muda dan masyarakat Sulawesi Utara secara umum.
Satu minggu sebelum Lomba Perahu Layar berlangsung, diadakan juga bincang budaya dengan tema “Temu Nelayan Perkapalan Tradisional untuk Kehidupan Laut yang Berkelanjutan” di Pesisir Karangria Grand Luley Manado, Sulawesi Selatan. Bincang budaya dihadiri oleh 100 nelayan lokal yang sudah diseleksi dari 1500 nelayan lokal. Ada dua sub-tema yang menjadi bahan diskusi. Pertama, sub-tema “Kehidupan Laut Berkelanjutan dalam Aspek Lingkungan dan Kebudayaan untuk Nelayan Setempat serta Peningkatan Ekonomi Berbasis Pelayaran Ramah Lingkungan” yang difasilitatori oleh Dahri Dahlan, seorang dosen Fakultas Ilmu Budaya UNMUL Samarinda dan penulis yang menaruh minat tinggi terhadap pendidikan, riset, seni, sastra, budaya, dan isu lingkungan.
Topik kedua, “Penggunaan Layar: Kearifan Lokal, Pengetahuan, dan Teknologi Tradisional” difasilitatori oleh Alex John Ulaen, antropolog dan peneliti lepas di Pusat Kajian Komunitas Adat dan Budaya Bahari, Yayasan MARIN CRC Manado. Dilakukan dengan format santai, dalam diskusi ini juga ada pertukaran pengalaman dan cerita sukses para nelayan di Sulawesi Utara untuk mengatasi berbagai masalah yang mereka hadapi dalam bidang perikanan dan kelautan melalui pendekatan budaya. Sebagai penutup dari bincang budaya, dilakukan penyerahan secara simbolis layar perahu kepada perwakilan nelayan. (*Alfa Jobel)