Pedagang Ikan Ini Serukan Tolak Intoleransi, Radikalisme dan Terorisme, Ini Alasannya Pedagang Ikan Ini Serukan Tolak Intoleransi, Radikalisme dan Terorisme, Ini Alasannya - Media Independen

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Pedagang Ikan Ini Serukan Tolak Intoleransi, Radikalisme dan Terorisme, Ini Alasannya

10 May 2024 | 14:58 WIB Last Updated 2024-06-04T02:44:44Z

 

Achmad Hemeto


MANADO - Achmad Hemeto namanya. Profesinya hanyalah sopir. Kesehariannya mengangkut ikan dari Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Tumumpa untuk dibawa  ke gudang penampungan di Kota Bitung.


Di waktu senggang, ia menyempatkan diri menjadi pedagang ikan di Pasar Bersehati Manado. Keuntungan yang bisa diraupnya sekitar Rp200.000 hingga Rp300.000,-.


Meski hanya sebagai sopir, Achmad paling lantang menyerukan menolak Intoleransi, Radikalisme dan Terorisme. Ada apa?


Pria berkulit sawo matang ini ternyata nyaris terjerumus pada radikalisme. Ia nyaris terpengaruh oleh doktrin kelompok-kelompok radikal dan intoleransi seperti ISIS.


Dirinya terjebak dengan bahasa, simbol serta slogan-slogan agama. Sampai-sampai, salah satu simbol kaum radikal dipasangnya di ruang tamu rumahnya.


Bahkan Imran, adiknya, ikut mengunggah foto dengan latar belakang lukisan kaligrafi yang diduga mirip dengan lambang kelompok radikal ISIS tersebut di akun Facebook pada tahun 2015.


Simbol itu, katanya  memang menyentuh emosi keagamaan karena menggunakan lukisan kaligrafi. Tapi itulah, mungkin karena pemahaman agama yang kurang hingga ia tak bisa membedakan mana simbol agama dan mana simbol ISIS.


Akibatnya, dia bersama adiknya sempat diamankan oleh pihak kepolisian Polresta Manado pada 2017 silam karena menyimpan atribut yang selalu digunakan oleh kelompok ISIS.


"Tapi itu dulu, dan saya menyadari itu adalah salah," ujar Ahmad Hemeto.


Ia mengatakan banyak belajar dari berbagai ceramah, khutbah di masjid hingga pemberitaan di media massa maupun televisi. Ia pun mengetahui kalau Indonesia masih terus dihadapkan pada kasus intoleransi, radikalisme dan terorisme.


Kasus terakhir adalah penganiayaan mahasiswa Katolik Universitas Pamulang (Unpam) di sebuah indekos kawasan Jalan Ampera, Kelurahan Babakan, Kecamatan Setu, Kota Tangerang Selatan, 5 Mei 2024 lalu.


Dia menyebut kasus itu adalah intoleransi yang tak seharusnya terjadi. Alasannya, karena perbuatan tersebut tidak sesuai dengan ideologi dan dasar negara Indonesia.


"Janganlah berbuat hal yang melibatkan masalah terutama masalah hukum, apalagi berhubungan dengan radikal," ucapnya.


Memang lanjutnya, penduduk Indonesia mayoritas beragama muslim. Tapi bukan berarti harus memaksakan kehendak atau menghalangi kaum lain untuk beribadah.


Dia kini memilih berprinsip toleransi dalam Islam yaitu surat Al Kafirun ayat ke-6 yaitu Lakum dinukum waliyadin. Ayat ini menunjukkan ketegasan bahwa muslim harus menghargai agama orang lain, tapi tidak mencampuradukkan ritual agama satu sama lain.


"Bagiku agamaku dan bagimu agamamu. Itu saja," pungkasnya. (****)


CLOSE ADS
CLOSE ADS
close