Kenly Poluan Ingatkan Jajaran KPU se-Sulut Jangan Tergoda Langgar Kode Etik di Pilkada Kenly Poluan Ingatkan Jajaran KPU se-Sulut Jangan Tergoda Langgar Kode Etik di Pilkada - Media Independen

Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Kenly Poluan Ingatkan Jajaran KPU se-Sulut Jangan Tergoda Langgar Kode Etik di Pilkada

7 October 2024 | 16:44 WIB Last Updated 2024-10-07T08:44:52Z
Ketua KPU Provinsi Sulawesi Utara, Kenly Poluan.

Manado, Indimanado.com - Ketua KPU Provinsi Sulawesi Utara (Sulut),Kenly Poluan mengingatkan kepada semua jajaran KPU di Sulawesi Utara dari tingkat Provinsi, Kabupaten-Kota, Kecamatan (PPK), Kelurahan (PPS) hingga Petugas di TPS (KPPS) untuk menghindari dan tidak tergoda untuk melakukan pelanggaran kode etik selama proses tahapan pilkada.

Hal ini diungkapkannya saat menghadiri acara "NGETREN MEDIA - Ngobrol Penyelenggara Pemilu dengan Media" bersama perwakilan puluhan Media online, elektronik dan cetak Sulawesi Utara yang diselenggarakan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Republik Indonesia (DKPP RI) yang dihadiri Anggota DKPP RI Muhammad Tio Aliansyah di Luwansa Hotel Manado, Jumat (4/10/2024).

Ketua KPU Sulut Kenly Poluan menyampaikan bagaimana KPU Sulut telah melakukan berbagai penguatan internal kode etik bagi jajarannya hingga ke tingkat badan adhoc di Kecamatan dan Kelurahan (PPK-PPS) hingga kepada para petugas KPPS, namun bercermin dari perhelatan pemilu lalu, terdapat 12 penanganan kode etik badan adhoc di 5 Kabupaten/Kota.

"Selama pemilu, ada kami kumpulkan data badan adhoc yang ditangani KPU Kabupaten/Kota. Penanganan itu dilakukan beberapa Kabupaten/Kota, tidak banyak, mungkin yang paling ramai itu adalah penanganan kode etik yang terkait dengan pelaksanaan rekapitulasi pemungutan suara di Kota Bitung dan Minahasa Utara," ungkap Poluan.

"Dalam rekapitulasi kami, terdapat 12 penanganan kode etik badan adhoc di 5 Kabupaten/Kota, dan dari 12 itu ada 17 pemberhentian tetap, 12 peringatan dan 11 rehabilitasi (nama baik), dari baseline-nya, 8.055 PPK di 171 Kecamatan dan 4.547 PPS dari kurang lebih 1.800 Desa/Kelurahan dan secara 57.000 KPPS," bebernya.

Baginya, meskipun jumlah para pelaku pelanggaran kode etik sangat sedikit dari jumlah petugas badan adhoc yang berjumlah puluhan ribu orang se Sulawesi Utara, namun pelanggaran kode etik yang diproses selama tahapan pemilu tersebut perlu menjadi perhatian semua jajaran agar menghindari pelanggaran kode etik pada tahapan pilkada yang saat ini sedang bergulir.

Berdasarkan hasil pemeriksaan atas berbagai perkara pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu, Kenly Poluan mengungkapkan berapa tidak mudahnya posisi para penyelenggara pemilu yang sering kali dihadapkan dalam satu konstruksi konsolidasi demokrasi yang dinamis.

"Jadi posisi penyelenggara pemilu berada dalam satu konstruksi konsolidasi demokrasi dalam 5 konteks, masyarakat politik, masyarakat sipil (civil society), birokrasi-pemerintahan dan penegakan hukum dan masyarakat ekonomi," kata Poluan menjelaskan.

"Saya menyimpulkan, bahwa apa yang terjadi dalam konteks kode etik di kita, yang tadi saya gambarkan PPK-PPS ada 17 dan sebagainya, termasuk yang terakhir yang baru saja di sidangkan Yang Mulia Pak Tio, KPU Kabupaten Sangihe dan yang sudah putus, teman kami di KPU  Kabupaten Minahasa Utara, itu saya kira terjadi karena satu tadi, satu situasi yang posisi penyelenggara itu berdiri dalam 5 konteks masyarakat yang dinamis itu. Karena akhirnya ketika pelaksanaan kode etik, termasuk yang terakhir Sangihe dan Minahasa Utara, itu tidak terlepas dari satu masyarakat hukum, yang kemudian ada Gakkumdu disitu. Dan secara sosiologis dan konteks politik, itu ada masyarakat politik parpol yang mendekati dan sebagainya dan sebagainya," jelas Poluan.

"Problem atau posisi berdiri syarat paradigmatik dari penanganan kode etik penyelenggara pemilu, terutama kami di KPU Kabupaten/Kota, Provinsi dan Badan Adhoc, saya kira itu berada di satu dialektika masyarakat politik, masyarakat sipil (civil society), birokrasi-pemerintahan dan penegakan hukum dan masyarakat ekonomi. Jadi dalam konteks pemilu, posisi inilah yang menjadi cermin selama pemilu dalam proses etiknya. Itulah yang kami maksud dalam situasi yang terjadi dalam konteks kode etik," terang Poluan.

Padahal menurut Poluan, apa yang di dapat para pelanggar kode etik tersebut tidak sebanding dengan resiko yang bakal diterima.

"Saya kira, inilah yang harus kita carikan solusinya, agar kedepan nanti posisi penyelenggara pemilu tidak akan banyak terkait dengan masalah-masalah yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Kalau anda baca kasus-kasus yang 17 itu, sebenarnya tidak perlu terjadi, orang datang kasih uang 50 juta, tapi akhirnya dia takut, dia kembalikan, tapi di pecat. Situasinya kalau dijadikan satu konteks yang lebih homoeconomicus, itu tidak berarti apa-apa dengan pendapatannya. Uang 50 juta dikasih, padahal pendapatan dari honor itu dalam 2 bulan, 3 bulan sudah dapat. Tapi itulah situasi yang membuat penyelenggara pemilu dalam hal-hal yang terlalu menggoda seperti itu, akhirnya terjadi," tandas Poluan mengingatkan.

Lebih jauh Poluan mengungkapkan, "Disamping  dalam banyak kasus itu ada tarikan-tarikan yang sebenarnya terkait dengan aspek sosial, ikatan kekerabatan dan sebagainya, ada tawaran dari keluarga dan sebagainya, yang sebenarnya harus kita maksimalkan upaya pencegahan itu mungkin bisa kita lakukan," timpalnya.

Namun demikian, untuk penyelenggaraan Pilkada kali ini, instrumen pencegahan pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu (KEPP) masih terus tanpa jemu dilakukan KPU Sulut kepada para jajarannya.

"Di KPU sendiri, apa yang sudah menjadi ketentuan dari apa yang diterbitkan Yang Mulia Pak Tio, terkait dengan apa yang kami lakukan di Provinsi dan KPU RI, kami harus memaksimalkan upaya-upaya pencegahan lewat penguatan kapasitas, rakor, itu sudah kami lakukan. Walaupun [kegiatan] tidak terkait dengan SDM, tapi upaya-upaya memberi suatu pernyataan pastoral, di Provinsi lakukan itu. Tapi kan akhirnya masing-masing juga melakukan itu, masuk dalam kasus. Kami akui, itu satu soal yang harus di refleksikan untuk kedepan dalam pilkada ini, tidak perlu terjadi lagi. Dan kami sudah sampaikan dalam setiap kesempatan," tutup Poluan.

Sebelumnya, Anggota DKPP RI, Muhammad Tio Aliansyah dalam paparan informasi yang dibagikannya kepada wartawan, Sulut kini berada di urutan ke 12 Nasional dalam sebaran aduan provinsi dengan jumlah 15 pengaduan (3, 02%) dari 
226 perkara Kode Etik Penyelenggara Pemilu yang teregistrasi di DKPP RI.

Namun di informasikan bahwa dalam mekanisme penanganan kode etik di KPU, terutama terkait di badan adhoc, PPK-PPS-KPPS, itu dilakukan oleh KPU Kabupaten/Kota, dan dalam mekanisme sistem organisasi, KPU Provinsi diberi kewenangan distributif oleh KPU RI untuk melakukan pengawasan internal.

Penegasan atas ditegakkannya kode etik penyelenggara pemilu ini disampaikan Dekan Fisip Universitas Sam Ratulangi Manado Ferry Daud Liando, yang mengungkapkan bahwa KEPP merupakan bagian dalam mengawal kedaulatan rakyat.

"Karena ada bagian-bagian tertentu kedaulatan rakyat itu hilang, kedaulatan rakyat di manipulasi, karena ada juga oknum-oknum penyelenggara yang main curang. Kedaulatan ini kadang-kadang terganggu, disalahgunakan, dimanipulasi karena memang profesionalisme beberapa penyelenggara yang memang masih perlu di kawal," ungkap Liando.

Dengan sistem pengawasan atas penegakkan Kode Etik Dan Kode Perilaku Penyelenggara Pemilu ini, diharapkan dapat menjaga kedaulatan dan demokrasi rakyat atas kerja-kerja para penyelenggara pemilu pada perhelatan pilkada di Sulawesi Utara tahun 2024.
(Ridho L Tobing)
CLOSE ADS
CLOSE ADS
close